Ada jeda untuk sementara waktu untuk tidak bertemu yang membuat kami kangen. Kangen untuk sejenak mengosongkan diri bersama-sama di hari Kamis malam. Dan akhirnya kami bisa bersama-sama lagi untuk menikmati bekal untuk menjalani kehidupan. Kami belajar tentang “pasrah, pikiran yang sulit berhenti, dan dilema”.
Pasrah
Pasrah itu sebenarnya seperti apa?
Pasrah itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksa. Jika kita mencoba menerima sesuatu kenyataan hidup tetapi masih memiliki kata “tapi”, itu belum bisa dikatakan pasrah. Jika memang sudah pasrah, artinya menerima apa pun itu dengan ikhlas.
Pasrah itu adalah anugerah. Tidak semua orang mendapatkan rasa pasrah. Bisa jadi kemarin belum pasrah tetapi hari ini, bisa pasrah. Bersyukurlah jika kita mendapatkan anugerah berupa kemampuan untuk pasrah.
Lalu, bagaimana jika belum merasa pasrah?
Ya, tidak apa-apa. Tetaplah berproses.
Jika kita sudah bisa berpasrah, ini menjadi suatu bekal hidup. Saat kita pernah merasakan kondisi pasrah, kita menjadi lebih mudah untuk mengalaminya lagi. Kita jadi lebih mudah mengenali keadaan dan berpasrah, untuk menghadapi persoalan apa pun yang akan terjadi kelak di kemudian hari.
Namun, bagi orang yang belum merasakan berpasrah memang tidak mudah untuk bisa memahaminya. Pasrah, bagaimana pun, tidak bisa dibuat-buat. Pasrah bukan sesuatu yang sintetik. Pasrah adalah hal yang timbul secara alami.
Pikiran yang Sulit Berhenti
Pernahkah Anda memikirkan sesuatu hal tanpa henti? Seperti terjebak dalam labirin yang memiliki banyak jalur percabangan yang tiada habisnya? Berpikir tanpa henti, lagi dan lagi, pada hal yang sama untuk waktu yang lama.
Rasanya pasti melelahkan. Sayangnya ada orang-orang yang memang memiliki kebiasaan untuk mengulang-ulang suatu peristiwa dalam benaknya. Boleh jadi orang-orang seperti ini memang menikmati proses “berpikir tanpa henti”, terutama orang yang memiliki bakat analisis. Bagi mereka, tak pernah cukup untuk memikirkan sesuatu hanya sekali saja, bahkan ketika sebenarnya masalahnya sudah selesai.
Apakah ada caranya supaya bisa berhenti terjebak dalam pikiran tanpa henti itu?
Jalan keluarnya adalah dengan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Jika kita memiliki agenda harian, lakukan saja apa yang ada dalam daftar todo kita. Bekerja. Makan. Berolahraga. Rekreasi. Meditasi. Dengan begitu, kita bisa keluar dari terjebak untuk memikirkan hal yang mungkin sudah tidak perlu dipikirkan lagi. Ada banyak urusan lainnya yang menanti. Try to be present.
Biasanya jika seseorang memiliki waktu senggang alias selo, pikiran yang menghantui bisa jadi muncul kembali. Muncul untuk menggoda diri kita untuk kembali berpikir tanpa henti. Seperti memutar film dengan banyak alternatif skenario.
Dilema
Mau minum kopi atau teh? Makan bakso atau soto?
Pilihan yang mudah, kan? Hanya saja, dalam kehidupan ini, membuat keputusan adalah sesuatu yang tak semudah memilih menu minuman atau makanan. Apalagi jika suatu keputusan memiliki dampak yang luar biasa dan konsekuensi yang harus ditanggung banyak orang. Ada kalanya yang muncul adalah Dilema.
Saat seseorang menghadapi suatu pilihan, bisa jadi kesulitan untuk mengambil keputusan dikarenakan begitu banyak “noise” dari orang-orang sekelilingnya. Ada begitu banyak pendapat, opini, orang yang meragukan, orang yang memaksa, atau memang dasarnya tidak yakin mau mengambil pilihan terbaik.
Anggap saja ada Pilihan A dan Pilihan B. Anggap saja A adalah sesuatu yang Aman tapi tidak memberi kepuasan bagi jiwa. Sedangkan B adalah sesuatu yang Berisiko tapi memberikan kepuasan jiwa.
Jika memilih A, bisa jadi nanti suatu hari akan berpikir “kenapa tidak memilih B saja dulu”. Sedangkan jika memilih B, mungkin puas tetapi harus berjuang untuk mendapatkannya.
Susah, kan? Dilematis.
Hanya saja, hal yang hakiki adalah memilih keputusan yang benar-benar sesuatu hati nurani. Seperti apa yang dikatakan oleh guru sejati.
Setelah memilih, perjuangkan apa pun itu dengan maksimal. Tak perlu cemas akan berhasil atau tidak karena itu hanya akan diketahui di masa depan. Hal yang perlu dilakukan setelah menjatuhkan pilihan adalah Do It. Lakukan saja.
Tak perlu berfokus pada hasil. Semua hal di dunia ini menghasilkan dua hal: sesuatu yang berhasil atau sesuatu yang tidak berhasil. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang benar. Namun, jika memang suatu hal memang benar-benar dilakukan, tentulah akan ada hasilnya. Buahnya akan menyusul di kemudian hari.
Namun, saya tetap kesulitan mengambil keputusan. Bagaimana, ya?
Wajar saja. Ini karena nurani kita tidak selalu bersih sehingga mempengaruhi keputusan kita. Jika kita bisa dalam kondisi hati yang lebih murni, membuat keputusan menjadi lebih mudah. Tentu saja, memurnikan hati memerlukan proses tersendiri.
Saat kita makin bersih dan makin kosong, makin murni pula jawaban dari guru sejati kita.
Sebelum memutuskan sesuatu, kita bisa memberikan pertanyaan yang dilematis kepada diri kita sendiri. Mau pilih A atau B? Kemudian usahakan untuk berdiam diri dalam hening, mengosongkan diri, dan saat sudah merasa tenang, tanyakan pertanyaan tadi dan jawablah dengan spontan, A atau B.
Jawaban spontan yang muncul adalah jawaban yang sesuai hati nurani.
Jangan terlalu lama menjawab karena bisa jadi sudah terpengaruh lagi oleh pikiran-pikiran kita. Jawaban yang spontan adalah jawaban yang murni.
Makin sering kita mendengarkan guru sejati, dan melatihnya, lama-lama kita akan memahami bahasanya. Ini memang perlu trial and error. Barulah setelah berkali-kali melatihnya, kita mulai bisa mengalami tanda-tanda dengan lebih baik.
Latihlah kemampuan mengambil keputusan dari hal-hal yang kecil. Seraya waktu, bisa jadi kita jadi lebih bisa mengambil keputusan besar yang berdampak besar dengan lebih baik lagi.
Akhir kata, tak perlu berpikir lama-lama, mau minum kopi atau teh?
Rahayu
6 Oktober 2022