Long Time… I am back now.

Ya, sudah sekian lama blog Munggur ini tidak diperbaharui dengan kisah yang baru. Tidak ada kata-kata tertuang ke dalaï laman-lamannya. Beberapa komentar datang berarti masih saja ada orang yang bertandang dan meninggalkan jejak kata. Terima kasih sudah berkenan datang.

Tentu, ada banyak hal yang ingin diceritakan. Kemudian, dituliskan di sini. Ada banyak peristiwa kehidupan akhir-akhir ini. Hanya berlalu tanpa diabadikan dalam susunan kalimat di sini.

And here I am….

Come back to write more and more on this place.

Ironi

Saya sering mendengar lagu ini setiap kali memutar YouTube. Lagu ini, entah mengapa, nadanya enak didengar. Awalnya saya tidak tahu liriknya berbicara tentang apa. Saya hanya melihat sebuah video yang menyajikan lagu ini.

Baru hari ini saya mengerti liriknya karena sudah ada terjemahannya. Saya juga barusan tahu judul lagunya, yaitu Ironi. Lagu ini ditulis dan dilantunkan oleh Majiko, seorang pemusik dari Jepang.

Liriknya sungguh menyentuh. Mungkin karena saya sedang merasakan beberapa hal yang diekspresikan di lagu itu.

I want to take a little break
I want to take a little break, but…
Time cruelly goes by, hour by hour,
And it drags me right along…

Ingin bisa merasakan jeda. Sejenak dari rutinitas sehari-hari yang menjemukan.

My dreams, my aspirations,
My reasons for living…?
It's not like there's any real need
To have such things…

Masih ingat dengan impian dan keinginan. Namun, ah… Apa makna hidup ini?

What is life, anyway?
Not even knowing, I just keep living
But can I call that happiness?
I don't know anymore, idiot!

Baka! Ambyar! Entahlah… Yang penting tetap menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya meski tak sempurna.

Lagu ini menjadi suatu permenungan hari ini. Mengenai menghidupi hidup ini. Kita tidak harus terlalu pusing dengan memikirkan kehidupan ini. Tetapi tidak ada salahnya untuk sesekali merefleksikan hidup. Untuk menyadari bahwa hidup tak sekadar melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya.

Saya tahu lagu ini justru dari video tentang Hokkaido. Saya pikir awalnya tentang pulau paling Utara di Jepang. Ternyata liriknya beda jauh dengan tampilan videonya. Liriknya dalam… Tak sekadar perempuan yang jalan-jalan di musim dingin di Hokkaido.

Akibahara

Sebuah grup musik bernama World Order menyajikan sebuah video lagu berjudul “Have a Nice Day“. Lagunya unik. Gerakan tarian yang seperti robot yang kompak juga menarik. Namun, hal yang paling istimewa dari video lagu itu adalah latar belakang semua aktivitas yang ada di Akihabara.

Akihabara adalah kawasan perbelanjaan yang berada di seputaran Stasiun Akibahara, yang terletak di kota Tokyo, Jepang. Area akihabara terkenal sebagai pusat eletronik. Dalam perjalanan waktu, ada anime, manga, dan permainan video. Selain itu ada banyak maid cafe.

Akiba, sebutan pendek dari Akibahara, juga merupakan tempat di mana ada gedung teater AKB48. AKB48 adalah girl band yang anggotanya sangat banyak, berotasi secara reguler, dan menjadi salah satu ikon musik dari Jepang.

Video musik itu “mengajak” kita berjalan-jalan menikmati berbagai tempat dan aktivitas yang bisa dinikmati di Akibahara. Lengkap dengan para pelayan imut di maid cafe, kedai sushi, dan tentu saja panggung yang diramaikan oleh AKB48.

Bagian penutup video menyajikan grup ini menari bersama banyak orang yang ramai memenuhi jalanan di Akibahara di siang hari. Seru sekali. Banyak orang berpartisipasi untuk tampil di bagian penutup.

Video musik ini membuat saya sedikit teringat tentang secuil episode perjalanan ke Akibahara yang terlalu singkat di masa lalu. Hanya sempat melihat jalanan, makan sebentar di salah satu maid cafe, dan lanjut pulang ke penginapan.

Pasrah, Labirin Pikiran, Dilema

Ada jeda untuk sementara waktu untuk tidak bertemu yang membuat kami kangen. Kangen untuk sejenak mengosongkan diri bersama-sama di hari Kamis malam. Dan akhirnya kami bisa bersama-sama lagi untuk menikmati bekal untuk menjalani kehidupan. Kami belajar tentang “pasrah, pikiran yang sulit berhenti, dan dilema”.

Pasrah

Pasrah itu sebenarnya seperti apa?

Pasrah itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksa. Jika kita mencoba menerima sesuatu kenyataan hidup tetapi masih memiliki kata “tapi”, itu belum bisa dikatakan pasrah. Jika memang sudah pasrah, artinya menerima apa pun itu dengan ikhlas.

Pasrah itu adalah anugerah. Tidak semua orang mendapatkan rasa pasrah. Bisa jadi kemarin belum pasrah tetapi hari ini, bisa pasrah. Bersyukurlah jika kita mendapatkan anugerah berupa kemampuan untuk pasrah.

Lalu, bagaimana jika belum merasa pasrah?

Ya, tidak apa-apa. Tetaplah berproses.

Jika kita sudah bisa berpasrah, ini menjadi suatu bekal hidup. Saat kita pernah merasakan kondisi pasrah, kita menjadi lebih mudah untuk mengalaminya lagi. Kita jadi lebih mudah mengenali keadaan dan berpasrah, untuk menghadapi persoalan apa pun yang akan terjadi kelak di kemudian hari.

Namun, bagi orang yang belum merasakan berpasrah memang tidak mudah untuk bisa memahaminya. Pasrah, bagaimana pun, tidak bisa dibuat-buat. Pasrah bukan sesuatu yang sintetik. Pasrah adalah hal yang timbul secara alami.

Pikiran yang Sulit Berhenti

Pernahkah Anda memikirkan sesuatu hal tanpa henti? Seperti terjebak dalam labirin yang memiliki banyak jalur percabangan yang tiada habisnya? Berpikir tanpa henti, lagi dan lagi, pada hal yang sama untuk waktu yang lama.

Rasanya pasti melelahkan. Sayangnya ada orang-orang yang memang memiliki kebiasaan untuk mengulang-ulang suatu peristiwa dalam benaknya. Boleh jadi orang-orang seperti ini memang menikmati proses “berpikir tanpa henti”, terutama orang yang memiliki bakat analisis. Bagi mereka, tak pernah cukup untuk memikirkan sesuatu hanya sekali saja, bahkan ketika sebenarnya masalahnya sudah selesai.

Apakah ada caranya supaya bisa berhenti terjebak dalam pikiran tanpa henti itu?

Jalan keluarnya adalah dengan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Jika kita memiliki agenda harian, lakukan saja apa yang ada dalam daftar todo kita. Bekerja. Makan. Berolahraga. Rekreasi. Meditasi. Dengan begitu, kita bisa keluar dari terjebak untuk memikirkan hal yang mungkin sudah tidak perlu dipikirkan lagi. Ada banyak urusan lainnya yang menanti. Try to be present.

Biasanya jika seseorang memiliki waktu senggang alias selo, pikiran yang menghantui bisa jadi muncul kembali. Muncul untuk menggoda diri kita untuk kembali berpikir tanpa henti. Seperti memutar film dengan banyak alternatif skenario.

Dilema

Mau minum kopi atau teh? Makan bakso atau soto?

Pilihan yang mudah, kan? Hanya saja, dalam kehidupan ini, membuat keputusan adalah sesuatu yang tak semudah memilih menu minuman atau makanan. Apalagi jika suatu keputusan memiliki dampak yang luar biasa dan konsekuensi yang harus ditanggung banyak orang. Ada kalanya yang muncul adalah Dilema.

Saat seseorang menghadapi suatu pilihan, bisa jadi kesulitan untuk mengambil keputusan dikarenakan begitu banyak “noise” dari orang-orang sekelilingnya. Ada begitu banyak pendapat, opini, orang yang meragukan, orang yang memaksa, atau memang dasarnya tidak yakin mau mengambil pilihan terbaik.

Anggap saja ada Pilihan A dan Pilihan B. Anggap saja A adalah sesuatu yang Aman tapi tidak memberi kepuasan bagi jiwa. Sedangkan B adalah sesuatu yang Berisiko tapi memberikan kepuasan jiwa.

Jika memilih A, bisa jadi nanti suatu hari akan berpikir “kenapa tidak memilih B saja dulu”. Sedangkan jika memilih B, mungkin puas tetapi harus berjuang untuk mendapatkannya.

Susah, kan? Dilematis.

Hanya saja, hal yang hakiki adalah memilih keputusan yang benar-benar sesuatu hati nurani. Seperti apa yang dikatakan oleh guru sejati.

Setelah memilih, perjuangkan apa pun itu dengan maksimal. Tak perlu cemas akan berhasil atau tidak karena itu hanya akan diketahui di masa depan. Hal yang perlu dilakukan setelah menjatuhkan pilihan adalah Do It. Lakukan saja.

Tak perlu berfokus pada hasil. Semua hal di dunia ini menghasilkan dua hal: sesuatu yang berhasil atau sesuatu yang tidak berhasil. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang benar. Namun, jika memang suatu hal memang benar-benar dilakukan, tentulah akan ada hasilnya. Buahnya akan menyusul di kemudian hari.

Namun, saya tetap kesulitan mengambil keputusan. Bagaimana, ya?

Wajar saja. Ini karena nurani kita tidak selalu bersih sehingga mempengaruhi keputusan kita. Jika kita bisa dalam kondisi hati yang lebih murni, membuat keputusan menjadi lebih mudah. Tentu saja, memurnikan hati memerlukan proses tersendiri.

Saat kita makin bersih dan makin kosong, makin murni pula jawaban dari guru sejati kita.

Sebelum memutuskan sesuatu, kita bisa memberikan pertanyaan yang dilematis kepada diri kita sendiri. Mau pilih A atau B? Kemudian usahakan untuk berdiam diri dalam hening, mengosongkan diri, dan saat sudah merasa tenang, tanyakan pertanyaan tadi dan jawablah dengan spontan, A atau B.

Jawaban spontan yang muncul adalah jawaban yang sesuai hati nurani.

Jangan terlalu lama menjawab karena bisa jadi sudah terpengaruh lagi oleh pikiran-pikiran kita. Jawaban yang spontan adalah jawaban yang murni.

Makin sering kita mendengarkan guru sejati, dan melatihnya, lama-lama kita akan memahami bahasanya. Ini memang perlu trial and error. Barulah setelah berkali-kali melatihnya, kita mulai bisa mengalami tanda-tanda dengan lebih baik.

Latihlah kemampuan mengambil keputusan dari hal-hal yang kecil. Seraya waktu, bisa jadi kita jadi lebih bisa mengambil keputusan besar yang berdampak besar dengan lebih baik lagi.

Akhir kata, tak perlu berpikir lama-lama, mau minum kopi atau teh?

Rahayu
6 Oktober 2022

Kesabaran

Seperti biasanya, kami sejenak mengosongkan diri bersama-sama di hari Kamis. Kami berharap bisa mendapat bekal untuk menjalani kehidupan ini. Malam ini kami belajar tentang “kesabaran”.

Kesabaran

Dalam hal kebatinan, kita memperhatikan tentang apa yang ada di luar dan di dalam. Kaitannya dengan kesabaran, ada sabar di luar dan sabar di dalam.

Bisa saja orang tampak sabar di luar tetapi di dalam dirinya merasa kemrungsung (tidak sabaran).

Kalau belum bisa sabar luar dalam, lebih baik untuk bisa bersabar di dalam meskipun di luar tidak sabaran. Paling tidak kita menjadi orang yang tidak munafik.

Dalam tata krama kehidupan sosial sehari-hari, kita biasanya cenderung untuk sabar di luar. Orang lain akan mendapati bahwa kita terlihat sabar. Padahal dalam hati, kita bisa sangat jengkel. Sabar di luar seperti ini tidak ada jeleknya. Bisa jadi kesabaran yang tampak di luar membuat suasana menjadi lebih kondusif. Bisa membuat kondisi relatif nyaman untuk sementara waktu.

Tapi jika ingin mencari sesuatu yang esensial, apa yang kita cari? Jika kita mencari kebenaran maka apa yang di dalam itu yang lebih penting. Bukan hanya apa yang tampak di luar saja.

Kesabaran itu identik dengan menerima dan menunggu prosesnya. Sabar itu tidak tergesa-gesa mengambil keputusan.

Idealnya tentulah sabar luar dalam. Sebaliknya, ada saja orang-orang yang tidak sabaran luar sekaligus dalam.

Ya, sebenarnya tidak apa-apa jika kita belum bisa sabar luar dalam. Kita menekankan untuk mengolah sabar yang ada di dalam.

Proses menuju kesabaran bisa dimulai dengan 1) menerima (orang lain yang membuat kita marah atau jengkel, serta apa yang melatarbelakangi tindakannya atau sikapnya). Kemudian 2) memaafkannya (jika orang itu melukai kita). Bisa jadi setelah itu yang muncul adalah 3) rasa kasih; sesuatu yang lebih dari sekadar Kesabaran.

Menerima bukan berarti tidak bertindak apapun. Tetap saja ada tindakan yang diambil. Tapi dengan proses menerima tersebut, kita bisa melakukan suatu tindakan dari sudut pandang yang lain. Di sini, penting sekali untuk jujur sehingga intensinya bersih.

Sikap jujur ini pada akhirnya justru memiliki kekuatan untuk mengubah. Paling tidak hal tersebut bisa mengubah sikap kita terhadap orang lain tersebut; termasuk tindakan yang akan kita ambil untuk menghadapinya.

Jika tetap tak bisa menerima, kita bisa menerima bahwa tidak bisa menerima hal tersebut. Jika tetap tak bisa menerima, itulah datangnya kesengsaraan (suffering). Susah sendiri. Menjadi beban yang dibawa dalam perjalanan hidupnya.

Suasana

Langkah pertama dalam mencapai kondisi yang tepat adalah merasakan suasana. Ada saat seperti munculnya rasa yang lain. Inilah yang dimaksud dengan Suasana; yaitu Suasana Tuntunan. Yang nantinya menuntun kita untuk bertemu dan berdialog dengan guru sejati dalam diri.

Suasana tercipta karena kita bersama dengan satu tujuan dan satu arah untuk sungguh-sungguh bersama. Ini kemudian menciptakan suatu tempat halus (field) di mana dari lahir ke batin; dari kosong ke isi.

Untuk merasakan Suasana itu, ada semacam titik mulai, Saat suasana sudah terasa, barulah kita memulainya. Titik mulainya adalah ketika kita merasakan suasana itu.

Mengubah Sikap

Sikap itu adalah Kunci. Sebuah sikap bisa membuat perbedaan yang besar. Dengan mengubah sikap, bisa membuat suatu perbedaan. Kembali lagi, yang penting adalah kondisi dalamnya yaitu sikapnya.

Pengakuan

Sebuah Pengakuan itu memiliki kekuatan. Sebuah tindakan mengakui bisa langsung memperbaiki suatu kondisi; baik kondisi kita dan kondisi luar.

Lawan dari Pengakuan adalah Membela Diri. Membela diri berarti tidak mau disalahkan. Makin pintar seseorang, makin pintar pula membela diri. Ini bisa berbahaya, ingat tentang Belut Putih. Belut Putih ini licin. Belutnya berwarna putih dan tentu tidak mau dikatakan hitam dan kotor. Belut Putih selalu merasa tidak salah. Belut Putih memiliki kecenderungan sulit untuk mengakui kesalahannya.

Rasa Bersalah

Rasa bersalah bisa timbul saat seseorang mengambil suatu keputusan yang berakibat tidak baik, semisal efeknya besar dan merugikan banyak orang. Bisa saja ada penyesalan. Padahal sebuah keputusan bisa terjadi karena banyak faktor dan elemen (baik yang disadari atau tidak disadari ada). Tidak semuanya terjadi karena keputusan seseorang yang tiba-tiba memilih sesuatu. Bahkan bisa jadi memang sesuatu akan terjadi seperti itu; tanpa pernah kita bisa ubah atau cegah. Jika bisa menerima apa yang terjadi, rasa bersalah tidak lagi membebani kita.

Akhir Kata

Kesabaran bermula dari menerima. Menerima sesuatu itu tidak selalu mudah. Namun, dengan sikap yang tepat dan kemampuan untuk menerima, ini bisa menjadi kekuatan yang besar dan membuat suatu perubahan yang signifikan dalam banyak momen kehidupan.

Rahayu
5 Mei 2022

Kehilangan Kesadaran

Seperti biasanya, kami sejenak mengosongkan diri bersama-sama di hari Kamis. Kami berharap bisa mendapat bekal untuk menjalani kehidupan ini. Kamis yang lalu kami belajar tentang “kesadaran”.

Kehilangan Kesadaran

Meditasi merupakan salah satu cara untuk melatih kesadaran. Salah satu hal yang cukup sering muncul dalam meditasi adalah jatuh tertidur. Ketiduran. Wajar jika ada orang yang tertidur karena meditasi membuat orang merasa rileks. Kondisi rileks membuat orang mudah tertidur.

Memang ada orang-orang yang menggunakan kesempatan meditasi bersama untuk rileks hingga tertidur. Namun, tertidur secara tidak sengaja ini berarti kesadarannya hilang.

Meskipun tertidur saat meditasi membuat orang merasa tentram dan nyaman, ini bukan tujuan meditasi. Tujuan meditasi adalah untuk mengosongkan diri sehingga bisa merasakan kesadaran yang utuh.

Lalu bagaimana kalau sering tertidur saat meditasi? Tidak apa-apa. Tetap saja bermeditasi sehingga akhirnya bisa tetap sadar dan tidak jatuh tertidur. Orang bisa mencoba kembali merasakan tubuhnya supaya kembali sadar bahwa sedang berproses dalam meditasi; bukan sedang tidur.

Pencerahan

Dalam beberapa tradisi, orang mencari pencerahan (enlightment). Enlightment itu adalah konsep. Konsep ini tentang seseorang yang menyadari bahwa saya itu bukan ‘aku’. The ego and the self.

Ego itu ciri khas manusia; tak bisa dihilangkan dari diri kita. Ada dorongan untuk menyadari bahwa “eksistensi saya bukan itu”.

Dalam beberapa tradisi, kalau saya sebagai manusia menyadari saya bukan ini tapi ini, itu artinya saya mendapat pencerahan. Sekali tercerahkan maka akan sadar selamanya.

Ada cara pandang lain yaitu bahwa seseorang kadang-kadang diberi small enlightment. Pencerahan kecil. Ada pengalaman yang dirasakan dalam sesi meditasi. Kadang juga tak merasakan apapun selama meditasi. Bisa jadi, suatu hari mendapat suatu pemahaman akan sesuatu hal, kemudian di hari lain lupa lagi. Tidak ada yang langgeng. Semuanya terus berubah. Seseorang bisa saja pernah mengalami kondisi tahu dan paham sesuatu. Bisa juga tidak pernah mengalaminya. Tak pernah sama dalam kehidupan ini.

Dan mendapatkan enlightment itu bukan sesuatu yang perlu. Tidak tahu apa-apa, ya tidak apa-apa. Pencerahan bukan sesuatu yang dikejar dan ingin dicapai.

Justru karena kita tidak tahu apa-apa dan tidak mengejarnya, kita menjadi lebih rileks dalam menjalani kehidupan ini.

Jadi kalau dalam tradisi lain itu diandaikan seperti naik kelas. Orang belajar di SD kemudian tercerahkan dan berada di tingkatan lebih tinggi yaitu SMP. Kemudian berlanjut ke tingkat pencerahan berikutnya yang lebih tinggi. Tiap pencerahan sifatnya langgeng.

Kehilangan Seseorang

Kematian bukanlah kegagalan. Kematian adalah suatu kejadian dalam kehidupan. Biasanya orang mengaitkan kematian sebagai sesuatu yang negatif.

Padahal kematian itu bukan sesuatu yang negatif atau positif. Siapa tahu sebuah kematian justru menjadi pembebasan dari penderitaan (misal, sakit atau menderita dalam hidupnya). Bisa jadi seseorang meninggal karena Sang Pencipta menentukan bahwa orang tersebut sudah cukup merasakan hidup di dunia ini.

Orang cenderung berduka sangat mendalam jika seseorang meninggal muda; alias meninggal sebelum menua atau merasakan hidup yang lama. Tapi apakah hidupnya akan lebih baik kalau masih bisa hidup lebih lama?

Sebaliknya, ada orang yang memiliki panjang usia dengan segala warna-warni dan lika-liku kehidupan. Tentu ada begitu banyak momen yang dialami sekaligus penderitaan/kebahagiaan yang dirasakan.

Wajar jika ada yang bersedih saat menghadapi kematian seseorang yang dekat atau relevan dengan dirinya. Intinya, ya kita terima saja kepergian seseorang itu.

Jika ada orang yang masih menangisi kematian seseorang hingga berminggu-minggu atau bertahun-tahun, itu menjadi tanda bahwa orang tersebut belum bisa menerima kepergian seseorang dalam hidupnya. Bisa jadi hal ini menjadi beban bagi dirinya sendiri (dan orang lain di sekitarnya) karena tidak bisa menjalani hidupnya seperti biasanya lagi.

Menerima memang tak selalu mudah. Namun, kita bisa memulainya dengan jujur pada diri sendiri seperti bayi. Jika merasa marah, ya marah saja. Bersedih saat merasa sedih.

Hanya saja, kita sebagai orang dewasa sering kali tidak jujur dengan diri sendiri. Lucunya, dan ini sering terjadi, orang dewasa cukup mahir untuk tidak memperlihatkan ekspresi yang sedang dirasakan alias berpura-pura. Bahkan, ada banyak orang yang memendam rasa yang ada hingga bertahun-tahun lamanya; membuatnya memiliki beban yang sebenarnya tidak perlu ada.

Jika mengekpresikan perasaan bisa membuat lega, tentu lebih melegakan jika bisa menjalani kehidupan ini dengan langkah yang ringan tanpa beban.

Rahayu
21 April 2022

Memulai Sesuatu

Seperti biasanya, kami sejenak mengosongkan diri bersama-sama di hari Kamis. Kami berharap bisa mendapat bekal untuk menjalani kehidupan ini. Kamis yang lalu kami belajar tentang “mulai”.

Memulai Sesuatu

Orang ingin memulai sesuatu karena baru saja mendapat inspirasi. Bisa juga karena suatu kondisi (misal, kekepet/terdesak). Bahkan ada yang mulai mengerjakan sesuatu yang sebelumnya sudah dipikirkan jauh hari. Pertanyaan yang muncul adalah “siap atau belum siap untuk memulainya“.

Jika belum siap adalah jawabannya, coba tanyakan lebih jauh apa saja yang mengganjal. Bisa jadi banyak alasan-alasan yang bermunculan. Alasan yang masuk akal hingga yang paling absurb sekalipun bisa muncul. Apapun itu, alasan tetaplah menjadi alasan. Perlu dirunut lebih jauh: niat atau ngga?

Untuk mengetahui jawabannya tentu salah satu caranya adalah dengan bertanya pada diri sendiri. Kemudian menjawabnya dengan jujur sejujur-jujurnya. Tak perlu berbohong karena yang bertanya adalah diri sendiri.

Pasrah

Pernahkah merasa bagai makan buah simalakama? Dimakan sial, tidak dimakan juga sial. Dilema sejadi-jadinya. Sampai bingung langkah apa yang harus diambil. Kalau sudah begitu kondisinya, berpasrah adalah hal yang bisa dilakukan.

Anehnya, saat sudah berpasrah justru bantuan datang dari luar. Ada kejutan yang tak diperkirakan sebelumnya. Ada saja orang-orang di sekitar kita yang memberi perhatian dan tak sungkan mengulurkan tangan untuk membantu. Bahkan ada momen di mana seseorang merasa keajaiban (miracle) terjadi.

Padahal sebelum sampai pada titik berpasrah diri, orang tidak melihat jalan keluarnya. Sudah berpikir keras dengan segala logika, tetap saja tak ada titik terang. Sementara setelah obsesi memudar dan berpasrah total, jalan malah terbuka.

Menyoal pasrah, pasrah di sini tidak identik dengan tidak bergerak. Pasrah di sini adalah saat kita menerima apa adanya kepada alam semesta atau sang pencipta. Saat itulah seseorang berada pada momen mengakui dirinya sendiri bahwa “aku saat ini tidak bisa apa-apa” dan bertanya “apa yang harus aku lakukan“.

Biasanya kalau ada krenteg (niat) maka jalan terbuka. Apapun yang hadir dari proses itu kita terima. Jika keadaan membaik, OK. Jika ternyata keadaannya tak membaik, ya OK dan tetap kita terima.

Hal yang paling menakutkan adalah saat seseorang takut konsekuensi dari apa yang akan dilakukannya. Khawatir nasib keluarga terombang-ambing. Takut jika malah rugi banyak. Tak berani beranjak daripada malah makin memburuk kondisinya. Takut move on dengan pasangan yang abusif karena tak nyaman nantinya sendirian. Apakah yang ditakutkan itu sekadar imajinasi? Apakah yang dikhawatirkan itu benar-benar akan terjadi seperti itu? Pikiran yang terlalu berat memikirkan akibat-akibat malah bisa membebani pikiran. Membuat pikiran dan perasaan dalam kondisi tidak nyaman.

Untuk menghindari pikiran-pikiran yang “membesar dan menggila”, seseorang bisa mencoba untuk “jangan takut salah”. Kesalahan apa yang bisa sangat fatal? Tidak perlu juga takut gagal. Jika salah atau gagal, cukup ganti dengan cara atau tindakan lain. Terus berusaha dengan melakukan tindakan lain yang mungkin bisa menjadi solusinya.

Dengan pikiran jernih melalui meditasi dan mengosongkan diri, nanti pilihannya akan muncul dengan sendirinya.

Mimpi

Kita sering dengar orang-orang di sekitar kita yang berbicara tentang mimpi mereka. Mimpi untuk buka kafe suatu hari nanti. Mimpi untuk pergi ke suatu tempat. Mimpi untuk memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang disayangi.

Tidak ada yang salah dengan mimpi ini dan itu. Hanya saja, istilah “mimpi” itu kurang pas. Mimpi itu lekat dengan sesuatu yang mudah karena dengan tidur-tidur saja sebenarnya kita semua bisa bermimpi. Biasanya mimpi-mimpi seperti itu hanya sebatas mimpi; tidak menjadi sesuatu yang mewujud.

Lebih pas jika mengganti kata “mimpi” dengan “aspirasi” atau “rencana”. Aspirasi atau rencana lebih membumi dan lebih jelas. Contohnya, A memiliki aspirasi untuk menjadi pemain musik dengan mengambil kursus musik. B sudah berencana untuk bepergian ke Kapadokia tahun depan.

Dengan memakai istilah yang berbeda, perspektifnya menjadi berubah dan menjadi lebih dekat ke realisasi. Bukan sekadar mimpi di siang bolong.

Dilema

Pernah menonton film di mana ada adegan tokohnya melemparkan koin untuk memutuskan pilihannya? Hal itu kelihatan keren. Namun, apakah dalam kehidupan nyata, kita juga akan lempar koin saat merasa dilematis?

Saat menghadapi dilema, hal yang perlu diingat adalah kadang kita tak perlu memilih dua pilihan sebagai sesuatu yang hitam dan putih. Baik dan buruk. Pilihan satu dan pilihan dua. Kanan atau kiri. Tidak perlu.

Bisa jadi malah memilih dua-duanya. Caranya bagaimana? Ya, bisa jika sudah tahu caranya. Biasanya kita memang belum tahu saja caranya. Misalnya, A merasa harus memilih satu dari dua opsi, yaitu untuk mengambil cicilan KPR atau melanjutkan studi S2. Mengapa harus memilih jika ternyata dua-duanya bisa dilakukan. Caranya? Ya, dicoba saja.

Jika seseorang memilih salah satu saja, bisa jadi dia tak akan tahu bahwa ternyata bisa memilih dua opsi yang ada. Mengapa harus menutup kemungkinan yang lebih baik?

Kemudian jika situasinya tak sebaik dan tak semulus itu, ya harus bisa menerima.

Menyoal pasrah, kita harus berhat-hati dengan kata “pasrah”. Kita tidak pasrah kepada keadaan kita (baca: menyerah atau tidak mau tahu). Kita pasrah kepada Tuhan dan mencoba mendengarkan apa yang Tuhan perintahkan ke kita. Sekali lagi, bukan pasrah kepada keadaan.

Oleh karena itu, kita tanyakan saja kepada diri sendiri dan Tuhan Sang Pencipta melalui meditasi dan doa.

Rahayu
7 April 2022

Kuda

Seperti biasanya, kami sejenak mengosongkan diri bersama-sama di hari Kamis. Kami berharap bisa mendapat bekal untuk menjalani kehidupan ini. Kamis malam ini kami belajar tentang “kuda”.

Empat Kuda

Kuda adalah sebuah simbolisme yang ada dalam diri manusia. Ada empat warna kuda. Kuda Putih, Kuda Merah, Kuda Hitam, dan Kuda Kuning. Kuda-kuda ini ada yang kuat dan yang lemah. Kita tidak bisa membunuh atau meniadakan kuda-kuda ini. Yang kita lakukan adalah memahami dan menyayangi kuda-kuda kita yang ada bersama diri kita.

Kuda Putih adalah kuda yang bisa jadi memberi kebaikan atau orang baik. Namun, bisa juga membuat orang menjadi tidak membumi karena terproyeksi pada rencana-rencananya yang ideal.

Kuda Merah menyiratkan amarah. Ini bisa menjadi kemarahan yang membakar. Bisa juga menjadikan seseorang antusias dalam mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh.

Kuda Hitam berkaitan dengan keserakahan, kemarahan, dan ambisi. Kuda ini bisa membuat orang mampu memikul beban kehidupan yang berat. Bisa pula menjadi ambisi yang menuju ke arah keserakahan. Salah-salah, orang menjadi rakus.

Kuda Kuning berhubungan dengan gairah (desire). Gairah bisa menjadi inspirasi untuk banyak hal dan orang lain. Namun, gairah juga bisa menjadi negatif seperti halnya nafsu seksual dan kecanduan.

Masing-masing pribadi manusia mencari keseimbangan dengan kecenderungan kuda-kudanya yang unik, sesuai dengan perjalanan dan pengalaman hidupnya. Bagaimana pun kita adalah manusia yang tak terlepas dari kuda-kuda tersebut. Ini sudah menjadi ciri khas manusia. Tentu perlu latihan dan meditasi untuk memahami dan menyayangi kuda-kuda ini. Jangan sampai ada kuda yang terlalu kuat sehingga dampaknya menjadi merugikan diri sendiri. Kuda yang lemah pun juga harus diperhatikan.

Kuda Merah dan Amarah

Rasa marah adalah rasa yang kuat. Membakar seperti api. Sanggup untuk membakar diri sendiri dan orang lain. Rasa marah biasanya membuat orang merasa menderita. Hidup menjadi tak nyaman dan tenang.

Yang perlu diperhatikan adalah penyebab marahnya. Setiap kemarahan tentu memiliki sebabnya. Tidak ada rasa marah tanpa penyebab. Pasti ada sebabnya.

Banyak orang yang sedang dilanda kemarahan cenderung berfokus pada sebabnya. Berfokus pada penyebab kemarahan mungkin sekali memberikan penderitaan bagi yang merasakannya dan memikirkannya. Namanya juga sedang marah. Tak jarang orang yang marah akan mudah menyalahkan keadaan dan meratapi nasibnya. Kemarahan yang memuncak dan tak tertahankan bisa jadi membuat seseorang melakukan hal yang bisa melukai orang lain; misalnya memukul atau membentak orang lain.

Namun, ada satu hal penting yang bisa dilakukan saat marah, yaitu untuk menerima rasa marah tersebut. Pertanyaannya adalah, “apakah saya bisa menerima rasa marah ini?

Apakah Kuda Merah (dalam bentuk api atau amarah) ini bisa berguna untuk saya? Jika tidak, apakah justru ini adalah amarah yang sudah membakar egonya sendiri dan tentu merugikan diri sendiri?

Sibuk dengan penyebab kemarahan itu sesuatu yang sifatnya sekunder. Kurang penting. Justru yang primer dan lebih penting adalah kita bisa menerima rasa itu.

Tentu saja kita harus menanyakan ke diri sendiri, “sebaiknya aku harus bagaimana?“. Akan kita apakan Kuda Merah itu. Sebagai contohnya, api ini bisa digunakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau menyelesaikan masalahnya sampai tuntas. Api bisa diberdayakan menjadi enerji yang migunani (berguna).

Singkat kata, saat kita sedang dilanda api kemarahan, kita “menerima apa yang terjadi”. Tidak berfokus pada penyebabnya tetapi apa yang akan bisa kita lakukan dengan api ini supaya menjadi enerji yang luar biasa.

Si Kuda Putih yang Baik Hatinya

Kuda Putih membuat orang ingin berbuat sesuatu yang baik dalam situasi yang kurang menguntungkan. Berderma yang miskin. Membantu yang kesulitan. Menjadi penolong bagi yang butuh pertolongan. Tidak ada yang salah dengan Si Kuda Putih yang menonjol.

Namun, tetap perlu menyadari kehadiran Kuda Putih. Jangan-jangan tindakan yang kita lakukan ini hanya idealisme yang muluk-muluk dan kurang membumi. Bisa jadi terlalu fokus pada tujuannya. Bahkan, ada situasi di mana ada rencana-rencana yang sangat indah di awang-awang tetapi menjadi tidak realistis dan tidak praktis. Hanya indah untuk dipikirkan dan didiskusikan.

Oleh karena itu, jika ingin memulai sesuatu, mulailah apa adanya. Usahakan untuk tidak memiliki ambisi. Menerima apa adanya.

Menetapkan Prioritas

Orang yang hidup di jaman now ada kalanya terobsesi dengan istilah “efisien”. Efisien identik dengan hemat waktu. Dan waktu adalah sesuatu yang dianggap banyak orang sebagai sesuatu yang mahal harganya di dunia modern yang bergerak cepat dan makin cepat. Orang percaya jika bisa menjalani kehidupan dengan efisien maka bisa melakukan lebih banyak hal di rentang waktu yang terbatas.

Namun, ada hal yang lain yang esensial yaitu “menetapkan prioritas”. Prioritas untuk melakukan tindakan dalam hidup sehari-hari. Salah meletakkan prioritas alhasil membuat orang menyia-nyiakan waktu dalam hidupnya. Contohnya, menonton sinetron sembari main Instagram berjam-jam terlebih dahulu baru kemudian mengerjakan PR.

Menyoal menetapkan prioritas ini tentang mana yang perlu dipikir dan mana yang tidak perlu dipikir. Mana yang perlu dilakukan dan mana yang tidak perlu dilakukan. Tidak semuanya harus dipikir dan dilakukan secepat-cepatnya atau dikerjakan bersamaan secara sekaligus di waktu yang sama.

Masing-masing pribadi harus melihat dengan kebutuhannya. Mana kebutuhan yang paling penting dan berdampak pada dirinya.

Tindakan mengikuti kebutuhannya. Jika suatu kebutuhan tersebut bisa didapatkan atau dipuaskan, tentu saja harus disyukuri. Jika ternyata tidak dapat didapatkan, tentu saja, diterima apa adanya.

Setali tiga uang, jika suatu hal bisa dikerjakan, kerjakanlah. Jika tidak bisa dilakukan, apa boleh buat, kita terima.

Kembali lagi, ini bukan masalah efisien atau tidak. Namun, ini tentang menerima sedalam-dalamnya apa yang bisa kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan diri kita.

Ada kalanya, setelah berjuang sekuat tenaga dan penuh pengorbanan, suatu hal benar-benar tidak bisa dilakukan untuk memenuhi suatu kebutuhan. Ya, sudah, kita mencoba menerima itu. Jika tetap tidak bisa menerimanya, kita mencoba menerima bahwa kita tidak bisa menerimanya.

Kita bisa menerima apa adanya dalam menjalani hidup ini. Tidak semuanya bagus. Tidak semuanya jelek. Kita menerima hal yang bagus dan yang jelek; yang positif dan yang negatif.

Rahayu
17 Maret 2022

Cara Makan Nasi Padang

Salah satu bahasan yang lagi ramai di Twitter hari ini adalah Nasi Padang. Ternyata kuliner dari Padang ini menjadi syarat yang harus ada ketika Agnes Monica naik panggung. Begitulah kisah yang menjadi bahan wawancara penyanyi kondang ini dengan Grammy.

Begitulah adanya, acara musik malah yang dibahas makanan. Seru, kan? Nasi Padang memang menjadi makanan jutaan warga negara Indonesia. Ini makanan sehari-hari sekaligus menjadi kuliner kebanggaan.

Kemudian muncul sebuah pertanyaan yang tidak begitu penting. Namun, pertanyaan ini memunculkan sebuah pertarungan argumentasi. Begini bunyi pertanyaannya. “Anda makan nasi padang pakai tangan atau sendok garpu?”

Pertanyaan sederhana ini sebenarnya bisa menjurus ke taktik divide et impera yang dipakai Kompeni Belanda di jaman dulu. Jelas, netizen terbagi dua. Ada banyak yang memilih tim makan nasi padang pakai tangan; mereka ini mengaku sebagai naturalis sejati. Tetapi rivalnya juga tak main-main, jumlahnya tak kalah banyak. Yaitu tim makan nasi padang yang menggunakan sendok dan garpu.

Bagi saya sendiri, saya termasuk orang yang makan nasi padang pakai sendok dan garpu. Maklum karena sudah terbiasa memakai alat makan. Menurut saya pribadi, malah susah sendiri kalau memakai jari-jemari untuk makan nasi padang. Belepotan. Kesannya tidak beraturan dan relatif brutal. Tetap bisa kok makan nasi padang pakai sendok dan garpu dan tetap rapi bersih makannya.

Di sisi lain, saya paham bahwa “turun tangan” ketika makan nasi padang yang menunya bermacam-macam dan berkuah itu kelihatan lebih “manusiawi”. Lebih luwes. Terutama saat menghadapi lauk ikan atau ayam. Umumnya, nasi padang memang disajikan tanpa sendok garpu. Meski sendok dan garpu disediakan di meja saat ini.

Mungkin juga ada faktor usia. Generasi jaman dulu lebih suka tak pakai sendok garpu karena dulu memang alat makan itu tak mudah didapatkan. Sementara generasi sekarang sudah lebih terbiasa menggunakan sendok garpu untuk makan setiap harinya.

Ah, sudahlah! Tak penting makan pakai tangan atau pakai alat makan. Hal yang paling penting adalah lauk padangnya. Makin beragam, makin enak. Syukur-syukur kalau bisa makan di rumah makan Padang yang sajiannya masih otentik dan maknyus.

Doldrum

Doldrum adalah sebuah istilah meteorologi. Menurut KBBI, doldrum adalah daerah bertekanan rendah di sekitar khatulistiwa, tempat udara panas selalu naik dan agak jarang angin.

Meskipun terlihat tak berbahaya, banyak awak kapal layar yang tidak berani berlayar di daerah doldrum. Alasannya sederhana, mereka tak mau kapal layar mereka berhenti bergerak, terjebak di sana, dan tak bisa kemana-mana. Tentu berbeda dengan kapal jaman sekarang yang ditenagai oleh mesin diesel; tak terpengaruh dengan pergerakan angin.

Seperti halnya kapal layar, ada waktunya manusia merasa sedang stagnan di tempat yang sama. Tidak maju. Tidak mundur. Hanya saja terpaku terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa.

Makin lama suatu kapal layar berada di wilayah doldrum, bisa jadi semangat para awak kapal mulai menipis. Hingga sirna tak berbekas. Ini lebih berbahaya karena tanpa harapan, awak kapal tak mau bergerak untuk melakukan tindakan yang bisa membuat mereka bergerak keluar dari wilayah angin mati ini.

Oleh karena itu, jaman dahulu, di kapal layar tetap ada dayung-dayung. Dayung digunakan untuk menghadapi doldrum. Meski tenaganya tak sehebat dan sekuat angin, jika awak kapal konsisten mendayung tentu kapal akan bergerak. Lambat tak mengapa asal bisa bergerak.

Dengan tetap bergerak, awak kapal juga menjadi tetap bersemangat. Hingga akhirnya kapal layar sampai di wilayah berangin yang membuat kapal kembali berlayar dengan lancar.

Dalam kondisi doldrum, seseorang harus tetap bergerak. Tak peduli sepelan apapun, kapal harus tetap bergerak. Berhenti lama bisa jadi kapal tak akan pernah beranjak dari tempat tersebut selamanya.