Tata Kota dan Yogyakarta

Kota Yogyakarta memiliki cetak biru pembangunan sejak jaman kerajaan. Terbukti dengan adanya Kraton Yogyakarta dan alun-alunnya sebagai pusat kota. Sedangkan jalan-jalannya berbentuk garis-garis kotak (grid) untuk mengakomodasi konektivitas dengan daerah-daerah di sekitar Yogyakarta sekaligus membentuk petak persawahan.

Kemudian tibalah saat jaman koloni Belanda. Sudah tipikal koloni Belanda untuk melakukan pemetaan geografis, hasil bumi dan kependudukan. Fungsinya memang untuk memaksimalkan dua tujuan utama. Pertama menjadikan banyak wilayah koloninya sebagai pusat produksi komoditas jualannya seperti gula dan kopi. Kedua mempersiapkan daerah-daerah koloninya sebagai tempat tinggal mereka di masa depan. Oleh karena itu tata kotanya benar-benar matang. Tentu untuk kepentingan Belanda. Bukan untuk kesejahteraan penduduk setempat. Namanya juga koloni, kepentingan negara mereka sendiri merupakan prioritas utama.

Sayangnya setelah adanya tata kota berdasar kerajaan dan pemerintahan koloni, datanglah penjajah Jepang. Tak ada pembangunan. Semua yang bisa diambil, dengan paksa tentunya, diangkut untuk keperluan perang tentara yang tunduk pada Kaisar Jepang. Hampir tak ada yang tersiksa. Tata kota berubah drastis. Bangunan arsitektural atau rumah rakyat rusak berat atau musnah.

Masa kemerdekaan datang akhirnya. Tata kota bukan menjadi prioritas utama. Asal rakyat bisa makan dan kenyang. Sayangnya karena sentimen nasionalisme yang kurang pada tempatnya, banyak tata kota peninggalan jaman kerajaan dan masa kolonialisme yang sengaja dihilangkan. Infrastruktur seperti jalur kereta api juga dimusnahkan.

Dengan naiknya tingkat kemakmuran rakyat karena ekonomi berkembang, urbanisasi pun merebak. Yogyakarta pun termasuk salah satu kota yang berkembang menjadi besar. Menarik penduduk dari kota-kota kecil di sekitarnya. Jumlah penduduk makin besar tapi tak diimbangi dengan tata kota yang baik. Alhasil kota yang dulunya asri menjadi kota yang ramai dan berantakan.

Asal ada uang, apapun bisa dibangun. Entah itu sekolah, pabrik, toko, hotel atau bangunan yang tak jelas. Ada rumah sakit kecil di tengah daerah pemukiman. Ada komplek perumahan yang berada di dekat bandara. Terkesan tidak adanya pertumbuhan kota berdasarkan zona khusus. Ditambah dengan tiadanya transportasi umum yang memadai sehingga penggunaan kendaraan pribadi meningkat secara pesat.

Lupakan tata kota di Yogyakarta. Kota ini sudah terasa sumpek, panas dan berantakan. Mungkin pemimpin dan pejabat pemerintah daerahnya tak terlalu merasakan ketaknyamanan tersebut karena hidup di wilayah yang nyaman dan asri. Tak seperti penduduk kebanyakan yang hidup di wilayah yang padat penduduk, tak tertata dan tak lagi nyaman.

Saya kangen dengan Yogyakarta yang dulu dengan tata kotanya yang tertata rapi.

6 respons untuk ‘Tata Kota dan Yogyakarta

  1. Saya juga kangen Jogja. Saya pernah tinggal barang sehari semalam di sana. Di kost teman saya di jalan Sapen, deket UIN Sunan Kalijaga itu. Bagaimana ya keadaannya sekarang? Sesekali saya juga pengen mengunjungi ulang… Request dong, lebih banyak memposting tulisan sudut-sudut Jogja. Jogja bagiku eksotis.

    Suka

  2. iya, moga ada lebih banyak rezeki dan waktu, jadi lebih bisa sering berkunjung ke sana.

    saya dari Jepara, Jawa Tengah.

    theme blognya ganti lagi ya? saya ini pake hape, saya ngak bisa buka buka postingan lamanya yang ada jejak komentar tentang angkutan gratis itu.

    Suka

    1. Pasti ada rejeki di masa depan, silakan mampir Jogja.

      Jepara = furnitur. Salah satu kota lagi yang belum pernah saya kunjungi.

      Yup. Memang sering ganti theme blog biar seru, ga bosen.

      Suka

Tinggalkan komentar