Istilah “Crossing the Rubicon” ini muncul karena tindakan berani yang dilakukan oleh Julius Caesar, jenderal perang yang ambisius dan menjadi seorang pemimpin terkenal dan legendaris di Roma dan dunia.
Saat itu Julius baru saja memenangi perang melawan Bangsa Galia. Perang berakhir setelah Julius bisa menaklukkan sebuah wilayah bernama Alesia, tak jauh dari perbatasan Germania. Namun para senat Roma memanggilnya pulang ke Roma.
Para senat itu takut dengan Julius yang makin populer di mata rakyat Roma. Padahal rakyat Roma menyukai pemimpin yang bisa menaklukkan wilayah baru dan menang perang. Oleh karena itu para senat ingin menyingkirkan Julius.
Para senat mengirimkan mandat supaya Julius meninggalkan posisinya sebagai jenderal perang, pulang ke Roma tanpa tentaranya, dan bersedia diadili karena memutuskan berperang melawan Bangsa Gaia tanpa minta persetujuan dari senat. Intinya, Julius akan kehilangan segala kekuasaan militer, kekayaan, dan posisinya di politik Roma.
Julius menerima panggilan para senat untuk pulang ke Roma. Julius pulang bersama dengan para tentaranya. Jumlahnya besar. RIbuan tentara. Tentara yang sudah kuat dan terlatih karena ditempa oleh perang melawan Bangsa Galia.
Namun ada permintaan khusus dari Senat. Julius harus meninggalkan tentaranya di batas paling utara Italia. Apabila Julius memasuki kota Roma dengan pasukan, tindakannya akan dianggap sebagai upaya untuk makar. Tetap memutuskan untuk masuk beserta tentaranya, pastilah perang saudara tidak akan terelakkan. Tentu Julius akan disambut dengan tentara Roma lainnya yang ingin mempertahankan keamanan republik.
Dalam perjalanan pulang ke Roma, sampailah Julius ke Sungai Rubicon. Sungai yang berada di sebelah utara Italia, tak terlalu jauh dengan kota Roma, alirannya membentang dari barat ke timur. Sungai ini menjadi penanda batas terakhir di mana sang jenderal perang harus meninggalkan tentaranya dan menuju ke Roma tanpa pengawalan tentaranya.
Julius paham bahwa para senat tak menyukai dirinya. Bisa saja para senat mengirimkan orang untuk membunuh Julius, yang tanpa disertai tentaranya yang jumlahnya besar, di tengah jalan.
Julius juga sadar bahwa membawa serta pasukannya memasuki kota Roma sama saja dengan tindakan memberontak dan ingin menguasai Roma dengan kekuatan militernya. Risikonya besar jika akhirnya terjadi perang saudara. Jika Julius kalah, bisa diasingkan ke pulau yang jauh atau dihukum mati.
Ada pergolakan dalam diri Julius. Menghadapi dilema. Julius tahu bahwa dia harus mengambil sebuah keputusan. Julius juga tak bisa menunda-nunda kepulangannya ke kota Roma. Harus memilih di antara dua pilihan dengan segera.
Julius hanya perlu memilih satu dari pilihan yang ada. Pertama, meninggalkan tentaranya dan memasuki kota Roma untuk diadili. Kedua, membawa serta pasukannya memasuki kota Roma dan menghadapi perang saudara.
Di tepi Sungai Rubicon, Julius mengambil keputusan yang mengubah jalan hidupnya sekaligus mengubah jalan sejarah Republik Roma.
Julius memutuskan untuk membawa serta pasukannya yang paling tangguh dan berpengalaman. Ini keputusan berani. Risikonya lebih besar dari pilihan yang lain. Namun, Julius bisa meraih kekuasaan dan kesuksesan yang lebih besar dari apa yang selama ini bisa dia dapatkan. Jika menang perang dan berhasil memasuki kota Roma.
Keputusan itu tidak menjamin keberhasilan Julius. Mirip seperti judi. Bisa saja keputusan tersebut akan menjadi akhir kisah Julius yang tragis. Keputusan itu bisa dianggap seperti sebuah perjudian.
Alea iacta est
Di tepi Sungai Rubicon, Julius mengatakan ini. Alea iacta est. Dalam bahasa Inggris berarti “the die has been cast”. Lebih kurang diartikan sebagai “dadu telah dilempar”.
Pada jaman Romawi, permainan dadu memang populer. Melempar dadu menjadi sebuah simbol untuk melakukan tindakan yang berbahaya namun bisa jadi menjadi sebuah peluang. Ini suatu kesempatan.
Saat Julius telah memutuskan untuk maju terus, tak ada lagi pikiran untuk balik badan. Langkah kaki mantap menuju ke depan. Tak bisa berhenti. Tak bisa mundur. Tak bisa diralat. Sebuah keputusan yang dibuat satu kali saja.
Julius pun harus menghadapi perang saudara dengan melawan pasukan Romawi yang dipimpin oleh Pompey, politisi yang sama-sama memiliki kekuatan militer dan berpengalaman dalam perang. Selepas perang, Julius harus kembali lagi ke Roma untuk membereskan kekacauan karena para Senat dan tentara Romawi meninggalkan kota itu.
Akhirnya setelah berbagai rintangan dan intrik politik, Julius menjadi seorang pemimpin tunggal Roma. Julius menggunakan titel Diktator alih-alih Konsul, dengan begitu Julius bisa segera membuat keputusan menyeluruh tanpa harus direcoki oleh Senat. Preseden ini yang menjadi titik di mana Republik Roma berubah menjadi Kekaisaran Roma.
Julius bukanlah seorang kaisar. Namun namanya, Caesar, dipakai sebagai nama titel pemimpin Romawi berikutnya, yaitu Kaisar Octavianus Augustus dan kaisar-kaisar berikutnya.
Tentang ‘crossing the Rubicon‘, kita tentu juga memiliki momen-momen seperti itu dalam hidup ini. Seseorang harus melewati sebuah batas imajiner dari zona nyamannya. Entah itu keputusan untuk merantau ke tempat yang jauh. Bisa juga dengan tekad untuk getting married. Undur diri dari tempat kerja, membuka usaha sendiri dan menjadi mandiri secara finansial. Menjadi seorang pejabat publik. Memilih sebuah profesi yang ingin ditekuni.
Momen-momen seperti itulah yang harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Setelah keputusan diambil, dilaksanakan dengan segenap hati dan jiwa raga.
Tak ada jaminan keberhasilan. Namun sebuah tindakan harus diambil. Biarkan yang di atas sana yang mengaturnya untuk kita, insan manusia. Kita hanya bisa melakukannya dengan sungguh-sungguh untuk mencapai impian yang bisa mengubah arah hidup kita.
Let’s cross the Rubicon…